Cheryl - Gracia - Jubilea

Cheryl - Gracia - Jubilea
Beradu Akting di depan Kamera!!!!

Kakak - Adik beradu senyum!!!!!

Kakak - Adik beradu senyum!!!!!
Kayak papa - mamanya yang murah senyum....(heeee kalo lagi mood yaaaa)

Perempuan-perempuan penggoda tidur nyenyakku!!!

Perempuan-perempuan penggoda tidur nyenyakku!!!
Caecilia Jubilea Kristanti, Augustina Mirah Kristanto, Faustina Gracia Kristanti

Kalau udah besar ...., mau jadi apa yaaaaaaa? (memang lucu...naaaak, kamu...)

Kalau udah besar ...., mau jadi apa yaaaaaaa? (memang lucu...naaaak, kamu...)
Faustina Gracia Kristanti (Anak ke 2) .

Lea Juara 1 Lomba Piano di Empire Palace Surabaya

Lea Juara 1 Lomba Piano di Empire Palace Surabaya
Sempat mau mogok les, eeee ..... malah Juara 1, berarti memang bakatmu....lea. Selamat yaaaaaa!!!!!!

Berdoa di depan Bunda Maria

Berdoa di depan Bunda Maria
Faustina Gracia Kristanti n Mamanya

Anak Kedua Kami Faustina Gracia Kristanti diBaptis di Katedral Surabaya

Anak Kedua Kami Faustina Gracia Kristanti diBaptis di Katedral Surabaya
Keluarga Yulius Kristanto Bersama Romo Eko Budi Susilo n Bu Caecilia (sebelah Lea)

Contoh Kesederhanaan dari Artis Senior Widyawati

Contoh Kesederhanaan dari Artis Senior Widyawati
Bangga juga, lhoooooo!!!!!

Pose sama Artis , reeek!!!

Pose sama Artis , reeek!!!
Yulius k. n Sarwana (WARNA)

Santa Caecilia... doakanlah kami!!

Santa Caecilia... doakanlah kami!!
Pelindung para penyanyi

Jadikan Hidup Anda lebih Berwarna!!

Jadikan Hidup Anda lebih Berwarna!!
Bagai Bunga mekar nan indah...

Bernyanyilah selagi masih muda!!!

Bernyanyilah selagi masih muda!!!
Ayoooo... bersorak - sorai bersama...

Belajar bernyanyi itu Penting!

Belajar bernyanyi itu Penting!
Do - re - mi - fa.......

Jumat, 28 November 2008

Musik Liturgi: Bukan Sembarang Ekskul

Bukan Sembarang Ekskul!
Di balik kegiatan ekstrakurikuler Musik Liturgi SMAK St. Louis 1 Surabaya




Keberadaan ekstrakurikuler (ekskul) di suatu sekolah, boleh dikatakan wajib. Tujuannya pun sangat jelas, salah satunya meningkatkan minat dan bakat para siswa baik di bidang olahraga, seni budaya, bahasa, maupun keilmiahan. Dengan demikiannya ekskul akan memberi keseimbangan pada siswa di luar intrakurikuler. Mendengar ekskul musik band, vokal group, teater, paduan suara, volley ball, basket, sepakbola dan sejenisnya termasuk sudah biasa. Namun bila kita mendengar ekskul Musik Liturgi , ini baru lain.

Ekskul Musik Liturgi di SMAK St. Louis 1 jalan Polisi Istimewa memang berbeda dibanding yang lainnya. Di sini mereka belajar mengenai hal-hal terkait musik liturgi (musik suci untuk ibadat di gereja), bermain musik sesuai dengan kemampuannya (gitar, biola, keyboard, organ, piano), bernyanyi lagu-lagu liturgi yang memang untuk keperluan misa kudus. Keistimewaan ekskul ini juga melatih beberapa siswa selain berorganisasi (ada beberapa pengurus) juga menjadi dirigen, dan solis. Latihan-latihan dalam setiap pertemuannya pun bukan sekedar belajar teknik bernyanyi (aiueo, frasering, artikulasi, interpretasi, dll), namun mereka juga belajar bersama membuat ketukan, aba-aba, membedakan ¾ , 4/4, dan seterusnya. Apalagi yang bermain musik, beberapa siswa diberikan kelonggaran untuk membuat arransemen sendiri, mencari kord yang sesuai, dan membuat model iringan yang tepat untuk suatu lagu. Hal ini akan memancing kemampuan improvisasi siswa menjadi lebih berkembang, sambil tetap diarahkan oleh pembina.

Tak terkecuali para pemain musik biola, gitar, organ. Mereka diharapkan mencoba dulu bermain berdasarkan teks lagu yang ada. Baru kemudian digabungkan bersama para penyanyi yang sudah mempelajari suaranya masing-masing Sopran, Alto, Tenor, Bas. Para siswa ekskul ini pun mendapatkan pemahaman musik liturgi yang merupakan bagian dalam peribadatan gereja Katolik. Ekskul yang baru terbentuk tahun lalu ini pun sudah cukup berkiprah untuk kegiatan peribadatan di sekolah , maupun di luar sekolah termasuk dalam acara temu alumni, misa syukur dan di Poh Sarang yang tentunya merupakan tugas dari sekolah. Tim ini lebih bervariasi dan lebih menunjuk pada kekhasan liturgi anak muda, karena diiringi alat musik yang beragam, meski pun lagunya sangat sederhana dari Puji Syukur, misalnya Tuhan Kau Gembala Kami (PS 542) atau lagu-lagu Taize yang sangat akrab dengan umat.

Seperti pada waktu misa SMAK St. Louis 1 di gereja Katedral Surabaya menjelang Ulangan Umum Bersama semester ini yaitu pada hari Selasa 25 November 2008 lalu, pukul 08.00 dan 11.00 WIB. Misa sekolah menjadi lebih khidmat, meriah, bersemarak dan berkesan. Romo Edi dan Romo Alex pun sempat menyampaikan pujian, bahwa misa kali ini sangat mengesankan dan mendorong siswa dan guru untuk berpartisipasi secara aktif dalam memuji dan memuliakan Tuhan. Sehingga perayaan misa ini terasa lebih hidup dan bersemangat.

Selain ada tim penyanyi SATB-nya, tim musik liturgi ini juga terdiri dari 8 pemain musik, pemain biola (Inggrid, Sheila, Rista, Felita), gitar (Anggi Fernaldy), keyboard (Brian), dan organ (Rivan), serta dirigen Lupita dan Olviana. Lagu-lagu seperti Tuhan Kau Gembala Kami, Tui Amoris, He, Halleluyah To The Lamb, Pujilah Tuhan, dan sebagainya yang sangat sederhana terkesan menjadi indah dan mengesankan. Tim Musik Liturgi yang terdiri dari 40-an siswa siswi kelas X dan XI ini pernah melakukan uji coba recording di studio Komsos untuk lagu-lagu Taize dan lagu gerejawi untuk kalangan sendiri. Prinsip pelayanan mereka pun cukup baik. Nyanyi Oke, Studi pun harus Oke! (Yulius Kristanto,S.S.)

Sabtu, 22 November 2008

Tips Belajar Bernyanyi

# TIPS BELAJAR BERNYANYI YANG BAIK #
Yulius Kristanto, S.S. *

 Sadar diri (bahwa kita ini bisa nyanyi atau tidak, dalam arti fals atau tidak, bisa diubah atau tidak. Kalau memang gak bisa diubah, lebih baik kita masuk dalam kelompok pelayanan yang tidak menitikbertakan di dalam olah vokal). Kalau kita merasa bisa nyanyi ya tentu harus punya komitmen untuk belajar agar lebih baik.

 Bisa membedakan bernyanyi dan berbicara (Singing Voice dan Speaking Voice)

 Menghindari kebiasaan makan dan minum yang dapat mengganggu pita suara kita, mis. Gorengan yang berlebihan, es, pedas, bahkan merokok.

 Rajin latihan peregangan (rilaksasi) dan pernapasan (diafragma), dengan latihan napas yang benar, akan membuat daya dukung suara kita lebih kuat (support). Kalau perlu dengan teknik tarik – tahan – hembus (keluar suara dengan nada ttn), dengan perbandingan, misal: 4 – 4 – 8 / 4 – 8 – 8.

 Rajin latihan vokal, minimal kalau berlatih sendiri 1 jam sehari, atau lebih. Baik latihan olah vokal a i u e o, ma mi mu me mo, latihan do re mi fa, dst. Ciptakan bagaimana suara kita supaya semakin merdu hari demi hari, bukan malah semakin gak karuan.

 Rajin latihan lagu (belajar dengan kesadaran sendiri mempelajari lagu baik yang sudah bisa atau belum, dan berusaha lebih detail menyanyikannya)
 Berlatih bersama pemusik, kalau perlu seminggu sekali, atau 3 atau 4 kali latihan sebelum pelayanan, atau tugas bernyanyi. (mencari nada, irama yang pas, membiasakan intro, interlude, ending, dll). Dengan sering berlatih bersama pemusik kita akan lebih percaya diri.

 Sering melakukan evaluasi baik sendiri, atau dibantu orang lain (dengan meminta pendapat teman, atau pemusik) bagaimana suara kita pada waktu tugas atau pelayanan ? Baik pitchnya, napas, kemerduan suara, ekspresi, teknik vokal kita, dll.

 Secara rutin belajar pada yang lebih baik. Datang pada orang yang tepat dan berani bertanya, serta tidak malu untuk dikritik dan dibetulkan akan sangat membantu kita dalam memperbaiki kualitas suara kita.

CIRI-CIRI SUARA YANG BAIK BERNYANYI

 Suara terdengar merdu, enak didengar
 Suara bisa dirasakan tingkat gemanya (resonansinya)
 Suara terkesan bertenaga / berenergi
 Suara lebih bersonor atau punya kekuatan / power
 Suara terdengar bersemangat (tidak aras-arasen)
 Suara tersupport dari dalam secara baik (napas mendukung baik)
 Suara berada pada pitch yang tepat
 Suara tidak cempreng, pecah (terutama bunyi i, e tidak seperti orang jual sate)
 Suara tidak memekakkan telinga orang yang mendengar
 Suara tidak terkesan berTERIAK
 Suara tidak terputus-putus seenaknya


TAHAPAN LATIHAN VOKAL YANG IDEAL

 RILEKSASI / PEREGANGAN (seluruh badan, termasuk wajah, mulut)
 PERNAPASAN (latihan napas)
 VOKALISIS (latihan vokal)
 LATIHAN TANGGA NADA (1-2-3 dst, 1-3-5-3-1)
 LATIHAN LAGU (melodi, syair, artikulasi, intonasi dll)
 LATIHAN EKSPRESI (bgm wajah, mimik, mata dll)
 LATIHAN PENAMPILAN (sikap, berdiri, gerakan,berjalan dll)






Istilah yang perlu diketahui dan dipahami:
Melodi : rangkaian dari sejumlah nada atau bunyi, yang ditanggapi berdasarkan perbedaan tinggi-rendah atau naik-turunnya.
Intro : bagian pengantar atau pendahulu bagi sebuah simponi, sonata, ataupun overture. Namun sering pula dipakai pada komposisi musik bentuk lainnya.
Interlude : permainan musik sebagai sisipan di antara bait-bait sebuah nyanyian atau babak-babak suatu pementasan, ataupun antara bentuk-bentuk penyajian non-mudik lainnya.
Nada dasar : nada tumpuan bagi nada-nada terpakai, yang umumnya nada pertama tangga nada, misalnya do untuk ragam mayor dan la untuk minor.
Pitch / intonasi : Hal tepat atau tidaknya tepatnya bidikan nada berkenaan dengan ketinggiannya.
Fals : sumbang; cacat laras; out of tune
Harmoni : keselarasan paduan bunyi
Balancing : keseimbangan
Tempo : cepat lambatnya gerak musik
Improvisasi : teknik bermain musik yang sifatnya spontan, seperti yang sedang terlintas saat itu. Kalaupun ada notasinya, hanya berupa akord-akord yang merupakan kerangka perjalanan musiknya.
Irama : gerak yang teratur mengalir, karena munculnya aksen secara tetap.
Birama : satuan ukuran dalam musik dengan kesaman nilai dan imbangan aksen, yang dipakai sebagai landasan gerak sebuah lagu.
Artikulasi : cara mengucapkan kata-kata dalam menyanyi, atau cara pengadaan bunyi dalam memainkan alat musik, khususnya alat-alat tiup.



QUI BENE CANTAT BIS ORAT
(Bernyanyi yang Baik berarti Berdoa Dua kali)


Mari Memuji Tuhan selama kita masih bernapas !!!!!


“ Music Speak Better Than Words “

Tentang MIMPI-MIMPI

Waaaooouuw…….,
Kenapa Mesti Takut Dengan Mimpi ??????
Oleh: Yulius Kristanto, S.S.




Terlalu banyak orang kadang melontarkan kata negatif seperti ini . “ Waaah jangan bermimpi kamu….!” ; “Kamu itu kayak bermimpi di siang bolong….” ; “ Sudahlah… tinggalkan mimpi-mimpi yang kemulukan ituuuu….!” ; “Omong kosong ……, kamu itu bisanya cumaaaa bermimpi….!” ; “ Dari dulu kamu itu bisanya cuma omong Mimpi aja…!”
Kata-kata negatif seperti ini bukan hanya sekali kita dengar, namun berkali-kali. Apalagi yang berbicara seperti ini biasanya malah justru orang-orang terdekat kita, misalnya: pacar, teman, sahabat, orang tua, saudara kita sendiri. Kenapa mereka berbicara seperti itu ? Bisa jadi, perkataan mereka didasarkan oleh kebiasaan-kebiasaan kita yang sering ngomong terlalu muluk-muluk di mata mereka, atau bahkan juga tingkah kita yang kadang kurang sesuai dengan realita yang ada. Bahkan mungkin juga kebiasaan kita yang hanya sekedar ngomong tanpa ada suatu realisasi dengan omongan kita. Maka keluarlah kata-kata pedas di telinga kita yang bisa merontokkan mental ingin maju kita. (apabila kita tidak siap mental…).
Berpijak dari sini hal-hal ini, kita perlu belajar dari orang-orang yang dengan gagah perkasa (mentalnya) membangun mimpi dan meraihnya tanpa menghiraukan cemooh orang, omelan teman, kekuatiran saudara, atau bahkan sikap acuh tak acuh kerabat dekat. Lihat Motivator Hebat Indonesia Andrie Wongso. (SD saja tidak tamat, anak dari keluarga miskin, sering jualan kue dari gang ke gang di Malang), tapi dia punya impian jadi bintang film. Maka di waktu sore atau malam dia sering latihan kungfu atau beladiri dengan cukup keras hampir setiap hari. Dengan segala prosesnya yang cukup panjang……, waaauuuooow, dia diterima di Hongkong sebagai bintang film laga. Bahkan mimpi itu malah justru mngantarkan dia untuk bermimpi yang lebih besar, sebagai orang yang memotivasi orang lain untuk maju. (Jangan takut mimpi !!!!!)
Begitu halnya dengan Delon, waaah ini juga lain lagi. Sebelum jadi artis Top, dia mengawali diri dengan jualan barang-barang rumah tangga (sebagai Salesman), lalu jadi Wedding Singer, ikut Koor wilayah, dll.
Apakah kita hanya cukup ngomong…., aku punya mimpi ini….!
Tentunya tidak! Mimpi memang harus diraih, bukan sekedar diomongkan dan nantinya mimpi itu datang sendiri….Wuuuuueeeesssss! Biiiin salabiiiiin! Langsung jadi nyata. Sekali lagi Tidak!!
Bagaimana pun juga, Mimpi butuh ketekunan untuk meraihnya, butuh langkah konkret kita untuk selalu fokus ke sana, tidak toleh kanan toleh kiri yang akhirnya membuat kita lupa dengan mimpi itu. Bahkan kerja keras untuk meraihnya. Tak terkecuali kita perlu membangun pikiran yang selalu positif, tidak mudah negatif. Dengan cara pandang kita yang positif , yakinkan bahwa kita akan meraih mimpi kita!!! Kita optimis sesuatu yang kita mimpikan akan kita raih.
Begitu halnya dengan kita sebagai pelajar…., mimpi seperti ini perlu dibangun. Saya mendapatkan nilai ulangan…..90. Saya pasti naik kelas atau lulus terbaik, saya diterima di perguruan tinggi Top, saya mendapatkan beasiswa. Saya mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang saya……, Bahkan kita bisa bermimpi….saya punya pacar cantik, atau ganteng, cakep, orang baik, seiman…dst. Namun diingat…., mimpi perlu PROSES. Perlu tahapan untuk meraihnya…kan? Perlu ketekunan untuk menggapainya…., juga kan? TETAP FOKUS ….!!!! Dan jangan lupa Berdoa. Dengan doa yang terfokus dengan baik dan hati yang tulus, serta niatan baik kita, cara pandang kita yang positif, usaha-usaha kita yang serius, pastilah Mimpi Kita RAIH !!!!

Kompetisi Paduan Suara AntarParoki Keuskupan Surabaya

BIDANG MUSIK LITURGI
KOMISI LITURGI KEUSKUPAN SURABAYA
Sekretariat : Catholic Center Jalan Bengawan 3 Surabaya

Menyelenggarakan

KOMPETISI PADUAN SUARA
ANTARPAROKI SE-KEUSKUPAN SURABAYA

Latar Belakang
Keberadaan paduan suara / koor dalam ibadat / perayaan misa di dalam gereja sangatlah berarti. Dengan paduan suara yang baik dan terlatih, akan memberikan suatu semangat baru dalam peribadatan. Adanya paduan suara yang mengerti akan liturgi dan cukup menguasai lagu-lagu liturgi akan membuat partisipasi umat menjadi lebih baik, sehingga perayaan misa menjadi lebih berkesan dan bermakna, serta lebih hidup.

Peranan paduan suara sangatlah penting dalam menciptakan suasana misa menjadi lebih sakral dan indah. Dia adalah motor, motivator, atau penggerak umat dalam menyanyikan lagu-lagu di perayaan misa. Paduan suara baik atau tidak akan sangat berdampak pada suasana dalam peribadatan. Hal ini bukan berarti keberadaannya menjadi satu-satunya pencipta suasana tersebut. Bukan ! Peran pemimpin ibadat atau pastor adalah nomor satu, dan paduan suara akan menopang dari segi nyanyian-nyanyian liturgi. Dengan nyanyian yang indah dan para pelayan musik liturgi bernyanyi dengan baik berarti berdoa dua kali – QUI BENE CANTAT BIS ORAT.

Berdasarkan masukan dari berbagai pihak terutama seksi liturgi / musik liturgi paroki-paroki, banyak yang mengeluhkan kurangnya pembinaan terkait dengan paduan suara di paroki-paroki. Baik hal itu dari segi teknis atau olah vokal, manajemen, maupun liturgi. Contohnya masih banyaknya paduan suara yang mempunyai kualitas suara yang pas-pasan, kurang terlatih, atau puas dengan keadaannya saat ini, banyak kelompok juga kurang berani meningkatkan kemampuan bernyanyi atau bermusik liturgi sehingga cenderung statis, kurang variatif, dan kurang bersemangat. Bahkan pelayanan yang ada, kadang hanya didasarkan pada kemampuan dirigen atau pelatih, serta pemusik yang sangat terbatas. Keadaan-keadaan semacam ini apabila dibiarkan akan semakin memperburuk keberadaan ibadat menjadi kurang bersemangat dan berkesan.

Melihat hal-hal di atas, maka Bidang Musik Liturgi Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya terpanggil untuk menyelenggarakan Kompetisi Paduan Suara Antarparoki se-Keuskupan Surabaya, yang diharapkan menjadi awal / titik tolak jawaban yang lebih jauh, dan menyentuh pelayan-pelayan musik liturgi dalam meningkatkan mutu atau kualitas pelayanan musik liturgi di paroki-paroki wilayah Keuskupan Surabaya.

Tujuan
1. Memberikan wadah pengembangan pelayanan musik liturgi bagi para pelatih, dirigen paduan suara, organis / pianis dan para penyanyi paduan suara.
2. Mengembangkan kemampuan, talenta, bakat bernyanyi dan bermusik liturgi agar lebih baik dan berkesan bagi pelayan-pelayan musik liturgi.
3. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan serta wawasan dalam pelayanan musik liturgi bagi para pelayan musik liturgi.
4. Meningkatkan kualitas baik teknis maupun non teknis dalam melayani musik liturgi di gereja melalui kompetisi.
5. Meningkatkan rasa persaudaraan, persahabatan, dan kebersamaan antarpelayan musik liturgi paroki-paroki se-Keuskupan Surabaya.
6. Menumbuhkembangkan sikap apresiatif umat Katolik terhadap nyanyian liturgi, dan paduan suara / koor gerejawi.

Tema Acara
Tema acara Kompetisi Paduan Suara Antaparoki Keuskupan Surabaya: “ Membangun Pelayanan Musik Liturgi yang Berkualitas di Paroki-Paroki Keuskupan Surabaya.”

Target
Target acara ini adalah peningkatan kualitas paduan suara paroki-paroki yang ada di Keuskupan Surabaya secara bertahap, terwujudnya suatu proses pembelajaran bersama antarkelompok paduan suara paroki peserta kompetisi untuk saling meningkatkan kemampuan dan kualitas bernyanyi maupun bermusik liturgi. Ditargetkan minimal 30 Tim Paduan Suara paroki, baik dari Surabaya maupun luar Surabaya akan mengikuti pelaksanaan acara Kompetisi Paduan Suara antarparoki ini.


Jenis Kegiatan
I. Pertemuan Teknis 1 (Technical Meeting 1)
Minggu, 9 Nopember 2008 ; mulai pukul 10.00 – 13.00 WIB di Catholic Center jalan Bengawan 3 Surabaya

II. Pertemuan Teknis 2 (Technical Meeting 2)
Minggu, 4 Januari 2009 ; mulai pukul 10.00 – 13.00 WIB di Catholic Center jalan Bengawan 3 Surabaya

III. Orientasi Panggung
Sabtu, 24 Januari 2009 mulai pk. 14.00 – 18.00 WIB di Auditorium Unika Widya Mandala Jalan Dinoyo 42-44 Surabaya dan dilanjutkan dengan Sarasehan Paduan Suara pukul 18.30 – 20.00 WIB. (diikuti oleh perwakilan setiap tim paduan suara, minimal 2 orang maksimal 5 orang).

IV. Kompetisi Paduan Suara
Minggu, 25 Januari 2009 pukul 09.00 – selesai.
Tempat pelaksanaan di Auditorium Unika Widya Mandala, lantai 4 Jalan Dinoyo 42-44 Surabaya.

Acara Kompetisi Paduan Suara Antarparoki :
Pukul 07.30 – 08.30 Persiapan
Pukul 08.30 – 08.45 Pembukaan (Doa dan Sambutan)
Pukul 08.45 – 09.00 Pembacaan Aturan Kompetisi dan Perkenalan Dewan Juri
Pukul 09.00 – 13.00 Kompetisi Paduan Suara
Pukul 13.00 – 13.45 Sidang Dewan Juri
Pukul 13.45 – 14.00 Evaluasi Dewan Juri
Pukul 14.00 – 14.15 Pengumuman pemenang
Pukul 14.15 – 14.30 Penyerahan Hadiah dan Foto bersama
Pukul 14.30 Sayonara


Ketentuan Kompetisi
1) Peserta adalan Tim Paduan Suara Campuran dari satu paroki yang terdiri dari kelompok suara Sopran, Alto, Tenor, dan Bas.
2) Peserta terdiri dari warga / umat Katolik dengan jumlah minimal 24 orang dan maksimal 30 orang.
3) Peserta harus terdiri dari anggota dengan menggunakan komposisi 50% mudika (16 tahun – 25 tahun) dan 50% dewasa / sudah menikah (26 tahun – 50 tahun).
4) Setiap paroki hanya diperbolehkan mengirimkan 1 (satu) tim saja.
5) Peserta wajib mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan 2 (dua) foto tim berwarna, dan foto terbaru anggota timnya ukuran 3 x 4 sejumlah 1 (satu) lembar, serta fotokopi KTP / SIM yang masih berlaku sejumlah 1 (satu) lembar. (Untuk persyaratan ini mohon ditempelkan di form yang sudah tersedia di lembar lampiran)
6) Peserta terdiri dari anggota paduan suara yang aktif berdomisili di wilayah gereja parokinya masing-masing, dengan melampirkan surat rekomendasi pastor paroki setempat.
7) Setiap Tim Paduan Suara diperkenankan didampingi maksimal 2 (dua) orang pendamping / official (pembina atau pelatih).
8) Setiap Tim Paduan Suara dipimpin seorang dirigen / conductor yang juga aktif dan berdomisili di paroki setempat.
9) Setiap Tim Paduan Suara boleh diiringi oleh organis / pianis / pemain musik dari paroki lain dengan tetap melampirkan fotokopi KTP / SIM yang masih berlaku.
10) Setiap Tim Paduan Suara diwajibkan mengikuti minimal 2 (dua) kategori dari 3 (tiga) kategori yang disiapkan panitia :  Kategori Lagu Liturgi Klasik (lagu terlampir) dengan acapella (tanpa iringan musik);  Kategori Liturgi Inkulturasi dari buku Madah Bakti (lagu terlampir) dengan capella (iringan musik); dan  Kategori Lagu Maria (lagu terlampir) dengan acapella (tanpa iringan musik), khusus kategori ini setiap peserta tidak wajib mengikutinya.
11) Jumlah pengiring paduan suara minimal 1 (satu) pemusik dan maksimal 3 (tiga) pemusik dengan peralatan musik akustik.
12) Durasi setiap paduan suara dalam menampilkan lagu-lagunya untuk 3 (tiga) kategori adalah 12 menit (dua belas menit), dan untuk 2 (dua) kategori tanpa kategori lagu Maria adalah 9 menit (sembilan menit) terhitung sejak dirigen melakukan hormat ke juri dan penonton dan berakhir saat dirigen menutup lagu dengan gerakan release.

Tempat & Waktu Pendaftaran
Tempat pendaftaran Kompetisi Paduan Suara : Catholic Center lantai 2 belakang (sekretariat Komisi Liturgi) Jalan Bengawan 3 Surabaya, 031 – 5678419. Informasi lebih lanjut bisa menghubungi no telp berikut: 031 – 5949036; 081 653 1917; 088 849 592 80; 081 217 769 74; 085 850 353 328. Pendaftaran paling akhir akan ditutup pada hari Senin, 15 Desember 2008, (stempel pos bagi peserta dari luar kota Surabaya).

Kategori Kompetisi dan Materi Lagu
1. Kategori Lagu Liturgi Klasik
Lagu dinyanyikan secara acapella (tanpa iringan musik) dan Nada dasar TETAP tidak boleh diubah. Lagu-lagu untuk Kategori Liturgi Klasik antara lain : (lagu terlampir)
a O Sacrum Convivium karya Guiseppe Pitoni, syair tradisional
b Tantum Ergo karya Anton Bruckner, syair trad / prop III no. 14
c Oculi Omnium karya M. Haller, syair Mz 145 : 15 – 16 ; Yoh 6 : 55 – 56
d O Sacrum Convivium karya L. Perosi, syair tradisional
e Salvum Fac Populum karya Heinrich Lemacher

2. Kategori Liturgi Inkulturasi
Lagu diambil dari buku Madah Bakti. Lagu dinyanyikan dengan iringan musik (organ, piano, atau plus akustik), nada dasar BOLEH berubah – naik / turun 1 (satu) nada dari aslinya. Lagu-lagu Kategori Inkulturasi antara lain : (lagu terlampir)
a Kristus Beserta Kita, lagu/syair Hs. Loko PML di Siantar V 1989, Arsm. Paul Widyawan. (Gaya Batak Karo).
b Gusti Memberkati, lagu/syair, arsm. Paul Widyawan. (Gaya Jawa).
c Bersoraklah Bagi Tuhan, lagu/syair Hs. Loko PML di Surabaya 2006 HL. 17, Arsm. Paul Widyawan. (Gaya Banyuwangi).
d Engkau Roti Hidup, lagu/syair Hs. Loko PML di Surabaya 2006, Arsm. Paul Widyawan. (Gaya Surabaya).
e Tuhan Pemurah, lagu/syair Hs. Loko PML Buntok 1984, Arsm. Paul Widyawan. (Gaya Daya’Ngaju).
f Nyanyian Syukur, lagu/syair Hs. Loko PML Detusoko 1998, Arsm. Paul Widyawan. (Gaya Flores-Sikka).
g Marilah Kita Ke Rumah Tuhan, lagu/syair Hs. Loko PML di Atambua III 1997, Arsm. Paul Widyawan. (Gaya Bunaq-Timor).
h Dari Hembusan Sabda-Mu, lagu/syair Finna Su Phing, Arsm. Paul Widyawan. (Gaya Mandarin).

3. Kategori Lagu Maria
Lagu kategori ini tidak wajib diikuti peserta. Lagu dibawakan dengan acapella (tanpa iringan musik), nada BOLEH berubah naik / turun 1 (satu) nada. Lagu-lagu Kategori Maria antara lain : (lagu terlampir)
a Beata Virgo, karya William Byrd
b Stabat Mater, karya Antonio Caldara
c Vos Omnes, karya G.P. da Palestrina
d Ave Maria, karya Moesman


Ketentuan Penilaian
Penilaian Kompetisi Paduan Suara ini ditentukan oleh Dewan Juri yang sangat berkompeten di bidang paduan suara dan musik liturgi , yang mempunyai reputasi baik Nasional maupun Internasional, serta bisa dipertanggungjawabkan. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

Kriteria penilaian kompetisi Paduan suara meliputi :
A. Penilaian Teknik
A.1. Intonasi, ritme, frasa, akurasi notasi, artikulasi, pernafasan, dll
A.2. Materi suara (Choral Sound)
B. Penilaian Artistik
B.1. Interpretasi partitur (penghayatan / pembawaan)
B.2. Penampilan artistik secara keseluruhan

Kriteria penilaian ini berlaku untuk masing-masing lagu yang dibawakan, baik lagu Kategori Liturgi Klasik, lagu Liturgi Inkulturasi, dan lagu Maria.

Ketentuan Penampilan
a. Setiap tim diwajibkan membawakan lagu Kategori Liturgi Klasik dan Liturgi Inkulturasi secara berurutan tanpa teks / partitur.
b. Lagu Liturgi Klasik dibawakan secara acapella dan lagu Liturgi Inkulturasi tim PS diperkenankan membawakan dengan iringan musik organ dan atau piano akustik, serta atau alat musik akustik tambahan (maksimal 3 (tiga) pemusik). Panitia hanya menyediakan alat musik organ Yamaha STAGEA dan piano akustik apabila ada beberapa peserta yang menginginkan. Kemudian Lagu Maria tanpa iringan musik (acapella).
c. Dalam penampilannya di atas panggung, satu tim terdiri dari minimal 26 orang (24 penyanyi, 1 dirigen, 1 pemusik) dan maksimal 34 orang (30 penyanyi, 1 dirigen, 3 pemusik).
d. Sebelum naik panggung berdasarkan nomor undian, setiap tim akan transit di 3 (tiga) ruangan. Ruang 1 (Karantina), Ruang 2 (rehearsal-pemanasan), Ruang 3 (persiapan di belakang panggung).
e. Official / pendamping hanya diperkenankan mendampingi tim sampai ruang rehearsal.

Penghargaan untuk Para Pemenang
Para pemenang dibagi menjadi 3 (tiga) kategori:Klasik, Inkulturasi, Lagu Maria . Masing akan dipilih juara 1,2,3 Harapan 1,2,3.

Dalam kompetisi ini Juara Umum akan memperoleh Piala dan Piagam Penghargaan Uskup Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono.

Informasi Lebih lanjut hubungi: Koordinator Bidang Musik Liturgi Komisi Liturgi Keuskupan Surabaya : Yulius Kristanto, S.S. 031 – 5949036, 031 - 60238107, 081 6531917, secretariat Komlit Niken 088 8495 9280, 081 2177 6974. Atau e mail : yuliuskristantomulit@yahoo.co.id



$$$$$$$$$$$
$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$$

Sabtu, 15 November 2008

Belajar dari Pak Andrie Wongso

Mendengar kata: Motivator Indonesia, banyak orang menyebut Andrie Wongso. Saya secara pribadi memang mengakuinya. Dia luar biasa. Membaca kisah atau pengalaman hidup dari masa kecil sampai dewasa, sungguh luar biasa. Bayangkan : SD saja gak lulus, tapi dia bisa main fil di Hongkong, Bisnis Kartu di Jakarta/ percetakan, dan sekarang Motivator yang sekali panggil puluhan juta rupiah. Waaauuuw, sungguh luar biasa. Ini salah satu tulisan beliau yang cukup inspiratif.


BERSYUKUR DAN BERJUANG
Action & Wisdom Motivation Training

Alkisah, di beranda belakang sebuah rumah mewah, tampak seorang anak sedang berbincang dengan ayahnya. "Ayah, nenek dulu pernah bercerita kepadaku bahwa kakek dan nenek waktu masih muda sangat miskin, tidak punya uang sehingga tidak bisa terus menyekolahkan ayah. Ayah pun harus bekerja membantu berjualan kue ke pasar-pasar."Apa betul begitu, Yah?" tanya sang anak.

Sang ayah kemudian bertanya, "Memang begitulah keadaannya, Nak. Mengapa kau tanyakan hal itu anakku?"

Si anak menjawab, "Aku membayangkan saja ngeri, Yah. Lantas, apakah Ayah pernah menyesali masa lalu yang serba kekurangan, sekolah rendah dan susah begitu?"

Sambil mengelus sayang putranya, ayah menjawab, "Tidak Nak, ayah tidak pernah menyesalinya dan tidak akan mau menukar dengan apa pun masa lalu itu. Bahkan, ayah mensyukurinya. Karena, kalau tidak ada penderitaan seperti itu, mungkin ayah tidak akan punya semangat untuk belajar dan bekerja, berjuang, dan belajar lagi, hingga bisa berhasil seperti saat ini."

Mendapat jawaban demikian, si anak melanjutkan pertanyaannya, "Kalau begitu, aku tidak mungkin sukses seperti Ayah, dong?"

Heran dengan pemikiran anaknya, sang ayah kembali bertanya, "Kenapa kau berpikir tidak bisa sukses seperti ayah?"

"Lho, kata Ayah tadi, penderitaan masa lalu yang serba susahlah yang membuat Ayah berhasil. Padahal, aku dilahirkan dalam keluarga mampu, kan ayahku orang sukses," ujar si anak sambil menatap bangga ayahnya. "Ayah tidak sekolah tinggi, sedangkan Ayah menyuruhku kalau bisa sekolah sampai S2 dan menguasai 3 bahasa, Inggris, Mandarin, dan IT. Kalau aku ingin sukses seperti Ayah kan nggak bisa, dong. Kan aku nggak susah seperti Ayah dulu?"

Mengetahui pemikiran sang anak, ayah pun tertawa. "Hahaha, memang kamu mau jadi anak orang miskin dan jualan kue?" canda ayah.

Digoda sang ayah, si anak menjawab, "Yaaaah, kan udah nggak bisa memilih. Tapi kayaknya kalau bisa memilih pun, aku memilih seperti sekarang saja deh. Enak sih, punya papa mama baik dan mampu seperti papa mamaku hehehe."

Sang ayah lantas melanjutkan perkataannya, "Karena itulah, kamu harus bersyukur tidak perlu susah seperti ayah dulu. Yang jelas, siapa orangtua kita dan bagaimana keadaan masa lalu itu, kaya atau miskin, kita tidak bisa memilih, ya kan? Maka, ayah tidak pernah menyesali masa lalu. Malah bersyukur pada masa lalu yang penuh dengan penderitaan, dari sana ayah belajar hanya penderitaan hidup yang dapat mengajarkan pada manusia akan arti keindahan dan nilai kehidupan. Yang jelas, di kehidupan ini ada hukum perubahan yang berlaku. Kita bisa merubah keadaan jika kita mau belajar, berusaha, dan berjuang habis-habisan. Tuhan memberi kita segala kemampuan itu, gunakan sebaik-baiknya. Dimulai dari keadaan kita saat ini, entah miskin atau kaya. Niscaya, semua usaha kita diberkati dan kamu pun bisa sukses melebihi ayah saat ini. Ingat, teruslah berdoa serta berusaha. Belajar dan bekerjalah lebih keras dan giat. Maka, cita-citamu akan tercapai."

Pembaca yang budiman,
Pikiran manusia tidak mungkin mampu menggali dan mengetahui rahasia kebesaran Tuhan. Karena itu, sebagai manusia (puk nen sien cek) kita tidak bisa memilih mau lahir di keluarga kaya atau miskin. Kita juga tak bisa memilih lahir di negara barat atau di timur dan lain sebagainya.

Maka, jika kita lahir di keluarga yang kaya, kita harus mampu mensyukuri dengan hidup penuh semangat dan bersahaja. Sebaliknya, jika kita terlahir di keluarga yang kurang mampu, kita pun harus tetap menyukurinya sambil terus belajar dan berikhtiar lebih keras untuk memperoleh kehidupan lebih baik. Sebab, selama kita bisa bekerja dengan baik benar dan halal, Tuhan pasti akan membantu kita! Ingat, bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang, tanpa orang itu mau berusaha merubah nasibnya sendiri.

Terus berjuang, raih kesuksesan!
Salam sukses luar biasa!!!
Andrie Wongso
www.andriewongso.com

Sabtu, 08 November 2008

Foto kenangan




Butir2 Pembaharuan Gereja Katolik

YESAYA
Edisi YESAYA Bunda Maria Santa & Santo Doa & Devosi Serba-Serbi Iman Katolik Artikel Suara Gembala Warta eRKa Yang Menarik & Yang Lucu Anda Bertanya, Kami Menjawab
Butir-butir Penting Pembaruan Liturgi
Sambutan Kardinal Arinze
pada Pertemuan Nasional Federasi Komisi Liturgi Keuskupan
se-Amerika Serikat, Chicago, 7-11 Oktober 2003


1. 40 Tahun Penuh Rahmat Lewat Liturgi

Perayaan misteri penebusan kita, khususnya Misteri Paskah sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus dalam liturgi kudus, merupakan pusat kehidupan Gereja. Partisipasi dalam perayaan liturgi dilihat Vatikan II sebagai “sumber utama dan tak tergantikan darimana kaum beriman menimba semangat kristen sejati.”

Oleh karena itu, sangatlah tepat bahwa dokumen pertama dari 16 dokumen yang harus dikeluarkan oleh Konsili Vatikan II adalah tentang liturgi kudus. Begitu Konstitusi Liturgi dimaklumkan pada tanggal 4 Desember 1963, “buah pertama Konsili” dipersembahkan kepada seluruh Gereja.

Lewat ajaran yang kaya dan arah-arahan yang bijaksana, yang dipersembahkan oleh Konstitusi ini, jalan menuju pembaruan liturgi dibuka bagi Gereja “selaras dengan asas-asas kesetiaan kepada tradisi dan keterbukaan kepada perkembangan yang sah.”

Peran penting Konstitusi Liturgi menjadi jelas kalau kita melihat kaitan erat dan organik antara pembaruan liturgi yang sehat dan pembaruan seluruh kehidupan Gereja. Karena “liturgi merupakan puncak yang dituju oleh seluruh kegiatan Gereja dan, sekaligus, sumber darimana mengalirlah seluruh kekuatannya.” “Dalam liturgi, Gereja tidak hanya bertindak tetapi juga menyatakan diri, dan dari liturgi ia menimba kekuatan untuk hidupnya.” Teristimewa, “Gereja menimba kehidupnya dari Ekaristi,” sumber dan puncak seluruh kehidupan kristen.”

Oleh karena itu, baik dan tepat kita memanfaatkan kesempatan ulangtahun ke-40 Konstitusi Liturgi ini untuk menoleh ke belakang, mengadakan refleksi, memandang ke depan, dan merenungkan sejumlah pertanyaan. Saya sangat berterima kasih kepada Komisi Liturgi Konferensi Uskup Amerika Serikat dan Federasi Komisi Liturgi Keuskupan se-Amerika Serikat karena Anda telah mengundang saya menghadiri pertemuan ini dan meminta saya membagikan kepada Saudara beberapa renungan tentang Konstitusi Liturgi kemarin, hari ini, dan esok. Marilah kita mulai dengan menyebut sejumlah hasil positif yang dicapai Gereja sejak Konstitusi Liturgi. Kemudian kita akan menyimak tantangan-tantangan yang terkait dengan hasil-hasil itu: Alkitab dan liturgi, terjemahan, penyesuaian dan inkulturasi, partisipasi aktif, peran kaum awam, revitalisasi kehidupan Gereja lewat liturgi, dan menatap ke masa depan.

2. Hasil-hasil Positif Sejak Sacrosanctum Concilium

Dalam kehidupan liturgis Gereja, sejumlah perkembangan yang amat baik telah terjadi sejak Sacrosanctum Concilium dimaklumkan. Mari kita mulai dengan mendaftar beberapa di antaranya. Dengan cara ini, kita bersyukur kepada Allah yang membimbing Gereja-Nya melintasi segala abad. Kita juga berterima kasih kepada semua yang memberikan andil dalam pemajuan liturgi, mulai dari mereka yang menggarap teks-teks liturgi, sampai ke para uskup, imam, dan anggota komisi liturgi seperti Saudara sekalian.

Untuk mengenang 25 tahun Sacrosanctum Concilium, Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Surat Apostolik Vicesimus quintus annus, 4 Desember 1988. Dalam surat ini, Paus mencatat lima hasil positif Konstitusi Liturgi.

Pertama, tempat Alkitab dalam liturgi. Sacrosanctum Concilium mendesak agar dalam liturgi Sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat Allah. Kalau kita menengok ke belakang, 40 tahun yang lalu, kita melihat bagaimana ritus liturgi baru telah sangat diperkaya dengan teks-teks Alkitab. Dalam misa, leksionarium ditata sedemikian rupa sehingga menghidangkan hampir seluruh Alkitab dalam siklus bacaan tiga tahun untuk hari Minggu, dan dua tahun untuk hari biasa. Mazmur Tanggapan membantu menerangi bacaan- bacaan. Perayaan sakramen dan sakramentali dibuat lebih serasi dengan menyajikan banyak teks Alkitab. Demikian pula Ibadat Waktu ( = Ibadat Harian). Dengan cara ini sebagian besar isi Kitab Suci dibuka, sebagaimana mestinya, tidak hanya kepada masing-masing orang beriman, tetapi juga kepada setiap kelompok jemaat. Dengan demikian, kaum beriman menjadi lebih akrab dengan Kitab Suci, dan setiap kelompok jemaat memiliki kesempatan, dalam kerangka khusus perayaan liturgis, untuk makin menyelami misteri agung kasih Allah yang mengubah hidup manusia sebagaimana dimaklumkan oleh Kitab Suci; dan ini terjadi pada semua tahap kehidupan manusia. Di setiap negara, telah dilaksanakan usaha yang luar biasa untuk menyediakan terjemahan-terjemahan Alkitab bagi umat Kristen.

Kedua, perkembangan yang membahagiakan adalah usaha terus-menerus untuk menerjemahkan aneka teks liturgis ke dalam bahasa umat dan juga untuk menyesuaikan perayaan liturgis dengan kebudayaan setiap bangsa, meskipun penuh tantangan.

Alasaan syukur yang ketiga adalah “meningkatnya partisipasi umat dalam doa, nyanyian, tata-gerak dan keheningan dalam Perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen lain.” Hal ini mudah kita lihat kalau kita membandingkan cara umat paroki ambil bagian dalam Misa hari Minggu saat ini dan lima puluh tahun yang lalu.

Kita juga bangga karena “pelayanan-pelayanan yang dilaksanakan oleh kaum awam dan tanggung-jawab yang mereka tunjukkan atas dasar imamat umum yang mereka terima lewat pembaptisan dan krisma.” Amat banyak perkembangan yang membahagiakan telah terjadi dalam bidang ini.

Akhirnya, sebagai rangkuman atas keempat bidang di atas, kita harus bersyukur kepada Allah “atas gairah luar biasa di kalangan begitu banyak komunitas kristen, suatu gairah yang ditimba dari mata air liturgi.”

3. Alkitab dan Liturgi

“Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus,” kata St. Hieronimus kepada kita. Tidak mengenal Alkitab merupakan kendala besar untuk memahami liturgi dan untuk memperoleh buah-buah yang diharapkan dari partisipasi dalam perayaan liturgi. Bagian terbesar liturgi diambil dari Kitab Suci, bukan hanya bacaan, tetapi juga ilham untuk doa-doa, simbol, dan gambaran-gambaran yang sering muncul dalam ibadat umum Gereja. Tanpa pemahaman biblis mengenai keluaran, perjanjian, bangsa terpilih, Ishak, domba paskah, paskah, manna, tanah terjanji, bagaimana liturgi dapat dipahami? Mazmur khususnya merupakan sumber yang tak tergantikan untuk bahasa, tanda-tanda, dan doa-doa liturgis.

“Gereja hidup dari Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kalau Gereja memaklumkan Sabda di dalam liturgi, ia menyambutnya sebagai sarana kehadiran Kristus.” “Kristus sendirilah yang berbicara kalau Kitab Suci dibacakan dalam gereja.”

Setiap orang dalam Gereja (klerus, biarawan-biarawati, dan kaum awam lainnya) harus semakin akrab dengan Alkitab. Dambaan yang makin besar dari banyak kaum awam untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan lebih mendalam di bidang Alkitab hendaknya ditanggapi dengan program-program yang memadai. Langkah pertama dan mutlak adalah penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa umat. Umat juga memerlukan bimbingan pribadi dan kelompok bagaimana membaca dan memahami Alkitab, serta bagaimana memanfaatkan Alkitab untuk berdoa. Ini merupakan langkah esensial dari pendekatan Katolik terhadap Alkitab. Lewat cara ini akan dipahami dengan jelas bahwa Gerejalah yang menghidangkan Alkitab kepada kaum beriman, sambil menjelaskannya dalam terang Tradisi dan pemahaman para rasul Tuhan. Para pakar liturgi dan para gembala umat hendaknya membantu umat memahami bagaimana ayat-ayat Alkitab yang telah dipilih itu sungguh serasi untuk
perayaan-perayaan liturgis yang bersangkutan. Homili pun hendaknya sungguh didasarkan pada Alkitab.

4. Terjemahan, Penyesuaian, dan Inkulturasi

Konsili Vatikan II memasukkan bahasa setempat ke dalam liturgi dan mengizinkan penyesuaian serta inkulturasi yang dipertimbangkan secara matang ke dalam ritus-ritus liturgis. Ini memberikan tantangan yang berat dan menuntut pertimbangan yang cermat.

Sementara tetap mempertahankan bahasa Latin sebagai bahasa resmi ritus Latin, Konsili menghargai manfaat penggunaan bahasa ibu di kalangan berbagai suku di dunia ini.

Sejak Konsili Vatikan II, penggunaan bahasa ibu semakin meluas dan umum, sehingga banyak imam sekarang mengalami kesulitan merayakan misa dalam bahasa Latin. Tetapi, Vatikan II tidak menghapus bahasa Latin. Kiranya baik kalau suatu paroki kadang- kadang melagukan dalam bahasa Latin bagian-bagian Misa yang cukup mengumat. Hal ini dapat dilihat sebagai sarana untuk melestarikan dan menjunjung tinggi warisan kita, menunjukkan Gereja sebagai komunitas yang memiliki suatu kenangan, dan memudahkan perayaan-perayaan Ekaristi antar-bangsa.

Terjemahan-terjemahan teks liturgi ke dalam bahasa ibu menghadapi tantangan berat untuk menghasilkan terjemahan yang setia pada naskah asli Latin, yang merupakan hasil sastra yang unggul, yang dengan mudah dapat dilagukan, yang tahan zaman, dan mampu memupuk kesalehan serta kebutuhan rohani umat. Hendaknya dihindari bahaya dan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari terjemahan sementara, karya tergesa-gesa, dan terjemahan tidak sah yang tidak mendapat aprobasi dari Konferensi Uskup dan pengesahan dari Takhta Suci.

Memasuki bidang penyesuaian dan inkulturasi ritus-ritus liturgi, kita dihadapkan pada tantangan-tantangan yang lebih besar lagi.

Sacrosanctum Concilium menyajikan asas dan arahan-arahan yang sangat jelas. “Dalam liturgi pun,” katanya, “Gereja tidak ingin memaksakan keseragaman kaku dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan seluruh umat. Sebaliknya, ia menghormati dan memajukan kekayaan rohani serta kekhasan berbagai suku dan bangsa. Apa saja dari cara hidup mereka yang tidak terikat mati pada takhyul dan ajaran sesat dikaji dengan penuh simpati dan, kalau mungkin, dilestarikan secara utuh. Kadang-kadang Gereja memasukkannya ke dalam liturgi sendiri, asal serasi dengan semangat liturgi yang benar dan otentik.”

Dalam mengamalkan pedoman-pedoman ini, Gereja akan membutuhkan beberapa generasi, khususnya di negara-negara yang belum lama mengalami penginjilan. Untuk membantu pelaksanaan tugas ini, Takhta Suci mengeluarkan pedoman-pedoman rinci yang menjabarkan maksud Konsili dan menggariskan langkah-Iangkah rinci untuk diikuti. Asal saja kesatuan hakiki ritus Roma dihormati, buku- buku liturgi mengizinkan penyesuaian sah dengan aneka daerah dan bangsa. Konferensi Uskup Nasional atau lembaga yang setaralah yang harus menelaah masalah ini, mengambil keputusan, dan menyampaikannya ke Roma untuk mendapatkan recognitio yang diperlukan.

Kalau inkulturasi yang lebih mendalam dianggap perlu, maka tuntutan-tuntutan pun menjadi lebih banyak: telaah lintas ilmu yang melibatkan teolog, pakar liturgi, sastra, antropologi, dan musik, diskusi serta voting oleh para uskup, dan pengesahan oleh Takhta Roma.

Baik dalam penyesuaian maupun dalam inkulturasi, harus diperhatikan dengan sungguh saksama misteri-misteri Kristus yang dirayakan dalam liturgi. Dalam tulisannya mengenai Ekaristi Kudus, Paus Yohanes Paulus II menulis, “Khazanah ini begitu penting dan berharga, sehingga kita harus waspada terhadap bahaya pemiskinan atau kompromi lewat bentuk-bentuk eksperimen dan praktik-praktik tanpa pengawasan saksama dari pimpinan gerejawi yang berwenang, [...] sebab Liturgi Kudus mengungkapkan dan merayakan iman seluruh umat, dan, karena merupakan warisan dari seluruh Gereja, liturgi tidak dapat ditentukan oleh Gereja-gereja lokal lepas dari Gereja universal.”

Oleh karena itu, masuk akal dan memang sangat penting bahwa harus ada peraturan dan kaidah-kaidah liturgis. Dalam kaitan dengan Ekaristi Kudus, misalnya, Paus Yohanes Paulus II berkata bahwa “kaidah-kaidah ini merupakan ungkapan konkret dari hakikat-eklesial Ekaristi; inilah makna terdalam dari kaidah-kaidah itu. Liturgi tak pernah merupakan urusan pribadi dari siapapun, entah pemimpin entah jemaat.” Karena itu, Sacrosanctum Concilium sudah menyatakan bahwa wewenang untuk mengatur liturgi kudus hanya ada pada pimpinan Gereja yang berwenang, yakni Takhta Apostolik dan, sebagaimana ditentukan oleh hukum, para uskup serta Konferensi Uskup. “Oleh karena.jtu, tidak seorang pun, bahkan juga imam, boleh menambah, menghapus, atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri.”

Adalah berbahaya kalau sejumlah orang berpikir bahwa inkulturasi liturgi mendorong kreativitas yang serba bebas dan tak terkendali. Mereka membayangkan bahwa menurut Vatikan II tindakan progresif, modern, dan cemerlang yang harus dilakukan dalam perayaan liturgi adalah menjadi kreatif, original, serba baru, berani bertindak sendiri. Paus Yohanes Paulus II menulis, “Harus diratapi bahwa, khususnya pada tahun-tahun yang menyusul pembaruan liturgi pasca konsili, sebagai akibat dari cita kreativitas dan penyesuaian yang salah arah, telah terjadi sejumlah penyimpangan yang menyebabkan derita bagi banyak orang.”

Inkulturasi sejati tidak ada hubungannya dengan hasil imaginasi kelewat-subur dari imam yang terlalu bersemangat, yang mereka-reka sesuatu pada Sabtu malam lalu mengusik jemaat tak berdosa yang berhimpun pada Minggu pagi, yang dia jadikan kelinci percobaan. Inkulturasi sejati dan lestari menuntut studi yang panjang, diskusi di kalangan pakar lintas ilmu, telaah dan keputusan para uskup, recognitio dari Takhta Apostolik dan penyajian yang bijaksana kepada umat Allah. Lebih dari itu, hendaknya dicatat bahwa dalam hal-hal religius, kepekaan dan kesalehan umat mudah sekali terluka oleh perubahan yang kurang dipertimbangkan dan tergesa-gesa. Dalam praktik keagamaan, kebanyakan umat adalah konservatif dalam arti yang baik - dan hal ini dapat dipahami - dan tidak rela menerima perubahan-perubahan yang sering terjadi.

Bahkan kalau pun kita berprasangka baik kepada para pembaru yang tergesa-gesa, bahwa ia memiliki motivasi tulus untuk membuat umat betah dalam liturgi, tetaplah benar bahwa hasilnya pada umumnya mendatangkan bencana. Perubahan yang tidak disahkan akan mengacau dan mengganggu umat. Perubahan-perubahan itu seringkali menarik perhatian umat bukan kepada Allah, tetapi kepada diri si imam. Perubahan seperti itu umumnya tidak tahan lama, seringkali terkesan dibuat-buat, dan menimbulkan batu sandungan karena bertentangan dengan kaidah dan peraturan-peraturan Gereja. Banyak umat, kalau ditanya apa yang mereka kehendaki, mereka akan minta agar para imam merayakan Misa, atau ritus lain, menurut buku-buku yang telah disahkan. Banyak kaum beriman awam mengeluh bahwa jarang mereka menemukan dua imam merayakan kurban Ekaristi secara sama. Liturgi Romawi bukanlah ajang eksperimen bebas bagi siapa saja, dimana setiap pemimpin merasa punya hak untuk menambahkan hal-hal yang ia gemari. Tindakan yang tetap dan diulang-ulang merupakan bagian dari setiap ritus. Umat tidak akan bosan olehnya, asal saja pemimpin melakukannya dengan penuh iman dan kesalehan, dan memiliki ars celebrandi (seni merayakan) yang jitu.

Paus Yohanes Paulus II meratap bahwa “sejumlah orang, bertolak dari kaidah-kaidah yang dikeluarkan oleh wewenang Takhta Apostolik atau oleh para uskup, telah mengembangkan perubahan yang aneh-aneh, dan dengan demikian memporak-porandakan kesatuan Gereja serta kesalehan kaum beriman, bahkan kadang-kadang menimbulkan pertikaian dalam masalah-masalah iman.” “Tidak boleh dibiarkan,” lanjutnya, “bahwa imam-imam tertentu merasa diri punya hak untuk menggubah Doa Syukur Agung atau mengganti teks-teks dari Kitab Suci dengan bacaan-bacaan profan. Prakarsa seperti ini sungguh menyimpang dari pembaruan liturgi sendiri atau dari buku-buku yang telah diterbitkan sebagai hasil pembaruan, bertentangan 180 derajat dengan pembaruan liturgi, mengaburkan liturgi, dan melucuti umat Kristen dari khazanah asli liturgi Gereja.”

Oleh karena itu, jelas bahwa inkulturasi tidak mendorong perusakan atau penghancuran liturgi kudus. Spontanitas liar dapat menyusup dalam banyak cara.

Pada awal misa ada imam yang merusak suasana liturgi dengan mengalihkan perhatian umat pada cuaca dengan berkata, “Selamat pagi, Saudara-saudara” sebagai ganti “Tuhan sertamu” atau “Rahmat Tuhan...”, yang merupakan salam pembuka liturgis yang tepat. Dapat juga ia ... dengan menuturkan otobiografi yang berkepanjangan dan melontarkan lelucon-lelucon dalam upaya salah arah untuk mengantar umat kepada ibadat! Ia tidak sadar bahwa dengan itu ia menarik perhatian umat kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah dan perayaan liturgi hari yang bersangkutan.

Distraksi lain, bahkan desakralisasi, dapat menyusup lewat tarian yang bertentangan dengan cita rasa liturgi dan tidak membantu umat mengangkat hati kepada Allah; juga lewat komentar-komentar yang berkepanjangan dan tidak perlu, nyanyian berlebihan yang dimonopoli oleh koor, yang tidak memberi kesempatan untuk doa pribadi, serta busana dan perlengkapan yang tidak cocok untuk liturgi.

Kami mengulas inkulturasi agak panjang lebar karena dari pengalaman banyak orang inkulturasi sering disalah-artikan dan ditolak. Tetapi inkulturasi sejati benar-benar dikehendaki oleh Bunda Gereja. Kita ditantang untuk mengembangkannya, dan tidak membiarkan ilalang tumbuh di tengah gandum.

5. Partisipasi Aktif

Para Bapa Konsili Vatikan II menekankan pentingnya partisipasi aktif seluruh kaum beriman dalam perayaan-perayaan liturgi. Dengan tulus, Bunda Gereja mendambakan agar semua umat beriman dibimbing ke arah partisipasi sadar, aktif, dan penuh dalam perayaan-perayaan liturgi; hal ini dituntut oleh hakikat liturgi sendiri. Partisipasi umat Kristen seperti itu, sebagai “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri,” ( 1 Ptr 2:9; bdk. 2:4) merupakan hak dan kewajiban mereka atas dasar pembaptisan.”

Hal ini hanya mungkin terjadi kalau para imam sendiri memperoleh pendidikan yang tepat dalam liturgi. Demikian pula hendaknya para pelayan liturgi, katekis, dan petugas pastoral lain. Tidak seorang pun dapat memberikan apa yang tidak ia miliki.

Penting disadari bahwa partisipasi batiniah adalah mutlak sebagai landasan, prasyarat, dan tujuan untuk partisipasi lahiriah. Oleh karena itu, doa pribadi, renungan Kitab Suci, dan saat-saat hening sangatlah penting. “Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebelum datang ke liturgi, umat harus dipanggil kepada iman dan pertobatan.” Sangat dianjurkan memajukan saat-saat hening untuk renungan dan doa pribadi dalam Perayaan Ekaristi, misalnya sesudah bacaan, sesudah homili, dan sesudah komuni. Koor hendaknya tidak menuruti godaan untuk mengisi setiap saat teduh dengan nyanyian.

Sikap hormat dan devosi sangat kondusif untuk membatinkan partisipasi aktif. Yang paling besar pengaruhnya terhadap umat dalam hal ini adalah imam yang memimpin perayaan. Tetapi putra altar, lektor, koor, dan pelayan komuni tak lazim kalau sungguh diperlukan, juga membawa pengaruh kepada umat lewat setiap gerak-gerik mereka. Sikap hormat adalah ungkapan lahiriah dari iman. Sikap hormat harus menunjukkan sujud kepada Allah yang mahatinggi dan mahakudus. Dan iman akan kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Ekaristi hendaknya terungkap dalam cara para pelayan melayani Sakramen Mahakudus, dalam cara mereka berlutut, dan dalam cara mereka mendaras doa-doa yang ditentukan.

Musik liturgi bisa mengembangkan ibadat. Musik Gregorian memiliki tempat terhormat dalam sejarah ritus Latin. Perlu dicatat bahwa bahkan kaum muda dewasa ini pun menghargai musik ini. Sebagian besar nyanyian liturgi akan dibawakan dalam bahasa ibu, dan ini bisa dipahami. Komisi Musik Keuskupan atau Komisi Liturgi Nasional hendaknya memeriksa apakah teks-teks semacam itu cocok dari segi teologi dan musik sebelum disahkan untuk digunakan dalam Gereja.

Misale Romawi dengan bijaksana menegaskan pentingnya tata gerak yang seragam untuk jemaat yang beribadat. Misalnya, kadang-kadang jemaat harus berdiri, berlutut atau duduk. Konferensi Uskup dapat dan memang sudah mengadakan penjabaran- penjabaran. Hendaknya diperhatikan jangan sampai mengatur jemaat seolah-olah mereka adalah suatu pasukan. Hendaknya tetap dimungkinkan adanya keleluasaan, lebih-lebih karena hal ini mudah melukai sikap hormat umat terhadap Ekaristi, misalnya dalam kaitan dengan berlutut atau berdiri.

Tata bangun gereja juga mempengaruhi partisipasi aktif umat. Kalau suatu gereja baru dibangun, dan tempat duduk ditata seperti dalam gedung kesenian atau ruang perjamuan, suasana yang ditonjolkan barangkali hanya perhatian horisontal umat yang satu terhadap yang lain, bukan perhatian vertikal umat kepada Allah. Dalam hal ini Perayaan Ekaristi menghadap umat menuntut dari imam dan pelayan altar tingkat disiplin yang tinggi, sehingga mulai dari persiapan persembahan dapat dilihat dengan jelas bahwa baik imam maupun umat sama-sama mengarahkan perhatian kepada Allah, bukan kepada satu sama lain. Kita datang ke Misa pertama-tama untuk menyembah Allah, bukan untuk meneguhkan satu sama lain, meski segi ini pun tidak diabaikan.

Sebagian orang berpikir bahwa pembaruan liturgi berarti membuang tempat berlutut dari bangku-bangku gereja, membongkar hiasan altar atau menempatkan altar di tengah-tengah ruang duduk umat. Tidak pernah Gereja mengatakan hal seperti itu. Juga tidak pernah mengatakan bahwa pemugaran liturgi berarti ikonoklasme atau membuang semua patung dan gambar kudus. Semua ini hendaknya tetap dipajang, tentu saja dengan pertimbangan yang matang. Altar Sakramen Mahakudus hendaknya sungguh indah dan terhormat; kalau tidak, di beberapa gereja yang katanya dipugar, dengan tepat umat mengeluh, “Tuhanku telah diambil orang dan aku tidak tahu di mana la diletakkan” (Yoh 20: 13).

Liturgi hendaknya dirayakan sedemikian rupa sehingga setiap orang dapat berpartisipasi secara tepat. Kalau demikian, maka umat diberi kesempatan nomor satu untuk menimba dari sumber Kristen utama kekuatan untuk pertumbuhan rohani mereka.

6. Peran Liturgis Kaum Awam

Untuk perayaan liturgi kudus yang tepat dan partisipasi penuh buah oleh seluruh umat beriman, penting dipahami peran-peran khas imam atau pelayan tertahbis dan peran-peran khas kaum beriman awam.

Kristus adalah Imam Agung. Ia telah memberikan kepada semua orang yang sudah dibaptis bagian dalam peran-Nya mengantar persembahan kepada Allah. Imamat umum semua orang yang sudah dibaptis memberikan kemampuan kepada umat untuk melaksanakan ibadat Kristen, untuk mempersembahkan Kristus kepada Bapa yang kekal lewat tangan imam tertahbis dalam Perayaan Ekaristi, untuk menerima sakramen-sakramen, untuk menjalani hidup kudus, dan untuk membuat seluruh hidup mereka menjadi kurban bagi Tuhan lewat penyangkalan diri dan amal kasih.

Di lain pihak, imam adalah orang yang dipilih dari tengah orang-orang yang dibaptis dan ditahbiskan oleh uskup. Hanya dia dapat mengkonsekrasi roti menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus serta mempersembahkannya kepada Bapa yang kekal atas nama Kristus dan seluruh umat kristen. Jelas, meski berbeda satu sama lain dalam hakikat dan bukan hanya dalam tingkat, imamat umum semua orang yang dibaptis dan imamat jabatan atau imamat hirarkis berhubungan sangat erat.

Tantangan besar yang kita hadapi adalah bagaimana membantu kaum beriman awam menghargai martabat mereka sebagai orang yang sudah dibaptis. Inilah yang menjadi dasar peran mereka dalam kurban Ekaristi dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya. Mereka adalah umat Allah. Mereka adalah anggota Gereja. Pelayanan mereka sebagai lektor, sebagai pemimpin nyanyian, sebagai umat yang mempersembahkan kurban bersama dan lewat imam didasarkan pada baptisan. Puncaknya adalah saat mereka menyambut komuni dari meja Ekaristi. Ini memahkotai partisipasi mereka dalam kurban Ekaristi.

Hendaknya dihindari kecenderungan klerikalisasi kaum awam. Ini bisa terjadi, misalnya kalau umat awam dipilih menjadi pelayan komuni tak lazim tanpa memperhatikan bahwa tugas ini merupakan panggilan untuk membantu karena jumlah pelayan komuni yang lazim
(uskup, imam, dan diakon) tidak mencukupi untuk melayani penyambut yang jumlahnya terlalu besar; kalau pelayan komuni tak lazim melihat perannya sebagai pembagian kuasa untuk menunjukkan bahwa awam pun bisa melakukan apa yang dilakukan oleh imam; kalau ini terjadi, kita sudah menghadapi masalah. Dan lagi, bagaimana kita dapat menjelaskan kesalahan menyedihkan bahwa kaum beriman awam berebut di sekitar altar untuk membuka tabernakel atau merenggut bejana kudus? - Semua ini bertentangan dengan kaidah liturgi yang sehat dan citarasa kesalehan yang tulus.

Kita juga mengalami kesalahan yang sebaliknya, yakni laikalisasi klerus. Kalau imam tidak lagi mau memberkati umat dengan rumus “Semoga Saudara diberkati oleh Allah” tetapi lebih senang memilih rumus yang tampaknya demokratis “Semoga kita diberkati oleh Allah,” kita sudah mengacaukan peran-peran. Hal yang sama terjadi kalau sejumlah imam berpikir bahwa mereka tidak harus berkonselebrasi tetapi berpartisipasi saja sebagai umat awam dengan dalih menunjukkan solidaritas yang lebih besar dengan kaum beriman awam. “Dalam perayaan-perayaan liturgi,” tulis Sacrosanctum Concilium, “entah sebagai pelayan entah sebagai salah seorang dari umat beriman, setiap orang hendaknya melaksanakan seluruh peran yang dituntut dari dia oleh hakikat dan kaidah-kaidah liturgi, tidak lebih dan tidak kurang.”

Suatu tugas yang selalu harus diusahakan adalah pendidikan teologis, liturgis, dan spiritual kepada pelayan komuni tak lazim, katekis, pelayan pastoral lain, dan kaum awam pada umumnya. Sering kali kesalahan terjadi bukan karena maksud buruk, tetapi karena kurang pengetahuan. Dari sinilah pola-pola politis pembagian kekuasaan dan perebutan kekuatan menyusup ke ruang pemimpin. Kita harus berterima kasih dan memberikan dorongan kepada para anggota Komisi Liturgi Keuskupan dan Komisi Liturgi Nasional atas semua yang telah mereka kerjakan untuk membuat segala sesuatu lebih jelas dan karenanya lebih harmonis.

7. Revitalisasi Kehidupan Gereja Melalui Liturgi

Dalam Vicesimus quintus annus, Paus Yohanes Paulus II bersyukur kepada Allah “atas gairah luar biasa di kalangan begitu banyak komunitas Kristen, suatu gairah yang ditimba dari mata air liturgy.” Tidak diragukan bahwa Sacrosanctum Concilium terus memberikan dukungan kepada Gereja di sepanjang lorong kekudusan untuk memajukan kehidupan liturgi yang tulen. Ini menegaskan kembali mengapa selalu penting untuk melihat bahwa pedoman-pedoman tulus dari Konsili harus dipatuhi.

Adalah kenyataan bahwa Paus berkata, “sejumlah orang telah menyambut buku-buku baru dengan sikap acuh tak acuh, tanpa usaha memahami alasan-alasan perubahan yang ada; sejumlah yang lain, sungguh sayang, telah berpaling secara sepihak dan eksklusif ke bentuk-bentuk liturgi terdahulu yang oleh sebagian dari mereka dipandang sebagai satu-satunya jaminan kepastian dalam iman.” Tidak boleh diandaikan bahwa, selama tiga puluh tahun ini, kebanyakan imam, biarawan-biarawati, atau kaum beriman awam mendapat pembinaan yang baik mengenai buku-buku liturgi baru. Bina lanjut tetap diperlukan.

Lebih dari itu, harus kita catat bahwa liturgi Gereja melampaui pembaruan liturgi. Banyak imam muda, biarawan-biarawati dan kaum beriman awam lainnya tidak mengenal buku-buku liturgi dari lima puluh tahun yang lalu, entah karena mereka lahir sesudah Vatikan II, atau karena mereka masih bayi tatkala liturgi seperti itu dirayakan.

Yang paling penting di atas semuanya adalah “pemahaman yang semakin mendalam terhadap liturgi Gereja, yang dirayakan seturut buku-buku liturgi baru dan lebih-lebih yang dihayati sebagai realita dalam tata hidup rohani.” Di bawah bimbingan para uskup, Komisi Liturgi Keuskupan dan Komisi Liturgi Nasional harus didorong untuk melanjutkan karya mereka selaras dengan arah di atas. Di samping itu, universitas-universitas Katolik dan lembaga pendidikan tinggi, seminari, rumah pembinaan biarawan-biarawati, dan pusat-pusat pastoral-kateketik juga memiliki peran penting. Hendaknya ada tujuan yang jelas dalam memajukan pendidikan kaum beriman awam dalam teologi dan spiritualitas liturgi.

Devosi dan penghormatan Sakramen Ekaristi di luar Misa juga mempunyai perannya. Para pendorong perkembangan liturgi tidak boleh memberi kesan bahwa perhatian terhadap Ekaristi Kudus cukup dengan Misa. Selama berabad-abad, umat Katolik ritus Latin mempunyai kebiasaan bagus mengunjungi Sakramen Mahakudus, menerima berkat dengan Sakramen Mahakudus, mengadakan perarakan dan Konggres Ekaristi, Sembah-sujud Sakramen Mahakudus yang dilaksanakan selama satu jam, satu hari penuh, atau selama 40 jam.

Ulah kesalehan umat Kristen pun sangat dianjurkan, asal selaras dengan hukum dan kaidah-kaidah Gereja. Direktorium yang diterbitkan Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen pada 2002 akan sangat membantu untuk memahami dan mengarahkan devosi-devosi umat sehingga sungguh serasi dengan iman Katolik, mengantar kepada dan mengalir dari ibadat liturgis, dan tak henti membantu umat Allah mengupayakan hidup yang kudus.

8. Menatap Masa Depan

Sebelum menutup permenungan-permenungann ini, kiranya baik mengarahkan perhatian ke masa depan. Diusulkan beberapa butir permenungan.

Peran uskup diosesan tak tergantikan. “Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Dalam arti tertentu, dari dialah kaum beriman yang ada di bawah reksa pastoralnya menimba dan merawat hidupnya dalam Kristus. Oleh karena itu, seluruh umat hendaknya menjunjung tinggi kehidupan liturgi keuskupan yang berpusat di sekeliling uskup, khususnya di gereja katedralnya.” Kebenaran ini membebankan tanggungjawab berat di pundak uskup dan juga mengundang semua umat untuk menyadari peran uskup, dan untuk menghormati serta mengikuti kepemimpinan liturgisnya.

Adalah lazim bagi para uskup untuk membentuk Komisi Liturgi Keuskupan atau Komisi Liturgi Nasional untuk melaksanakan kerasulan liturgis. Anggota lembaga-lembaga ini harus berusaha menyerap iman dan semangat Katolik yang sejati, dan menghindari pemaksaan kehendak sendiri lewat komisi. Sangat penting dikembangkan hubungan yang tepat antara Komisi Liturgi dengan keuskupan, Konferensi Uskup, atau Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen. Komisi Liturgi hendaknya berusaha tidak membuat terlalu banyak peraturan untuk umat, dan hendaknya tidak mengabaikan arahan-arahan dari wewenang yang lebih tinggi. Kalau di suatu negara, penyesuaian dan perubahan inkulturatif menjadi terlalu banyak sehingga mengaburkan Ritus Romawi, kesalahan tidak hanya ada pada para uskup, tetapi juga pada Komisi Liturgi mereka dan pakar liturgi lain yang menjadi penasihat para uskup.

Peran pastor paroki tetap amat penting. Ia adalah wakil resmi Gereja yang paling dekat dengan kebanyakan kaum beriman. Pendidikan liturginya, gagasan-gagasan dan cara dia merayakan Misa, sakramen, dan kegiatan liturgi lainnya, sangat berpengaruh kepada umatnya. Apa saja yang dapat membantu imam meningkatkan panggilannya harus didorong.

Tata bangun gereja, yang sudah disebut di awal makalah ini, sedemikian penting, sehingga saya ingin menyinggungnya kembali. Bentuk bangunan gereja sangatlah penting. Seperti dikatakan sejumlah orang, gedung olahraga yang mirip gereja tetaplah gedung olahraga.

Sejumlah pertanyaan dapat membantu. Adakah bangunan gereja mampu membantu umat mengangkat hati kepada Allah, kepada Yang Transenden? Di mana ditempatkan menara, lonceng, dan salib? Ruang-dalam gereja sendiri, apakah ruang pemimpin terpisah dari ruang gereja lainnya? Mengapa hiasan altar yang indah yang sudah satu atau dua abad terpajang di sana disingkirkan tanpa menghiraukan keinginan begitu banyak umat paroki?

Mengapa begitu sulit menemukan tempat yang cocok untuk tabernakel? Di mana harus dipasang patung atau lukisan Bunda kita? Apakah ikonoklasme terulang kembali?

Saya sadar bahwa pemugaran gedung-gedung gereja dapat menjadi masalah yang menegangkan. Para uskup dan anggota Komisi Liturgi memiliki tugas yang rumit untuk menimbang semua segi yang menyangkut masalah ini. Tetapi sebelum palu atau mesin gusur menerpa benda-benda yang berkaitan dengan kepekaan devosional umat selama berpuluh-puluh tahun atau bahkan berabad-abad, mereka yang harus mengambil keputusan wajib mawas diri apakah ada alasan-alasan yang cukup berat untuk mengganggu begitu banyak umat dan minta paroki atau keuskupan membayar pelaksanaannya.

Saudara dan Saudariku yang terlibat dalam pengembangan liturgi kudus lewat keuskupan-keuskupan di negeri yang besar dan luas ini, atas nama Bapa Suci serta Kongregasi Ibadat dan Tertib Sakramen, saya berterima kasih atas kerasulan penting Saudara. Saya ikut bergembira bersama Saudara atas segala rahmat yang telah melimpah atas komunitas Katolik lewat karya-karya Saudara. Semoga Santa Perawan Maria, Bunda Juruselamat kita, memohon bagi Saudara rahmat untuk melanjutkan pelayanan gerejawi Saudara dengan sukacita, damai, dan kasih karunia, dan dengan keyakinan besar bahwa Saudara mengamalkan peran vital dalam misi Gereja.

Kardinal Francis Arinze
8 Oktober, 2003

Alih bahasa: Ernest Mariyanto - Sanggar Bina Liturgi

Sumber : “Sumber dan Puncak Kehidupan, Buku Makalah”; Komisi Liturgi KWI

Hal-hal Penting Untuk Para Dirigen



Ø PUMR 53 Melarang teks Kemuliaan tradisional diganti dengan teks apa pun. Hal ini merupakan upaya gereja untuk mempertahankan kekayaan musik dari masa ke masa., melestarikan tradisi Romawi. Teks tradisional ini, sudah ada sejak abad II. (lihat. Lagu Kemuliaan pada Misa Raya, Misa Lauda Sion, Misa Kita II, Misa Kita IV, Misa Menado, Misa Sunda, Misa Te Deum, Misa De Angelis, dan beberapa yang lain. Sehingga Ordinarium untuk Misa Senja, Misa Syukur, Misa Dolo-Dolo pada bagian Kemuliaan-nya tidak diperkenankan dinyanyikan menggantikan ritus Kemuliaan. Lagu Kami Memuji, Pujilah Tuhan tetap boleh dinyanyikan misalnya untuk Pesta Tritunggal Maha Kudus. (lht Bk. Lakukanlah Ini, hal.38)

Ø Doa Bapa Kami atau lagu Bapa Kami, diharapkan mengambil teks doa yang resmi (seperti TPE 2005), tanpa diakhiri kata AMIN. Kalau dinyanyikan, irama yang cocok adalah yang bernada meditatif, seolah mengajak untuk merenungkan setiap kata dan kalimat dari doa itu. (lht. Bk. Lakukanlah Ini, hal. 108-110). Contoh kesalahan ini ada pada lagu Bapa Kami Piliphina. Sebenarnya ungkapan Amin merupakan tanggapan atas doa atau pernyataan yang dibawakan oleh pemimpin ibadat. Maka jika doa itu dinyatakan secara bersama-sama, ungkapan Amin tidak diperlakukan dengan semestinya.

Ø Aklamasi, Prefasi dll, (nyanyian yang merupakan dialog dengan Imam) jawaban umat hendaknya tetap dikomando oleh dirigen dengan penuh semangat, agak cepat sedikit dari biasanya yang rata-rata di gereja agak melambat. Organis juga hendaknya mengiringi di bagian jawabannya saja. Apalagi jawaban umat untuk kata Amin, hendaknya dirigen dan koor memelopori jawaban tersebut dengan penuh semangat, sehingga mendorong umat untuk menjawab dengan tegas, tanpa kesan saling menunggu. (lihat TPE. Hal 12, 20, dst)
_
5 5 6 atau 1 1
A-min A - min

Ø Actuosa Participatio ; (partisipasi aktif umat), hendaknya paduan suara ikut mendorong partisipasi secara aktif umat baik dalam bernyanyi dan berdoa. Pilihan lagu untuk ibadat juga akan sangat mempengaruhi keaktivan umat. Harus dihindari kesan umat hanya jadi penonton dalam perayaan ekaristi kudus. Memang tidak setiap lagu baik propium atau ordinarium, umat harus terlibat bernyanyi semua. Namun dengan adanya partisipasi umat dalam bernyanyi secara menyeluruh akan membuat suasana ibadat semakin lebih meriah, dan mengesankan. Bahkan apabila diperlukan ada lagu-lagu yang umat perlu bernyanyi, dan umat belum begitu mengenal lagu tersebut, maka perlulah dilatihkan dahulu 10 menit sebelum perayaan ekaristi dimulai.

Ø Lagu Komuni, paduan suara hendaknya menyanyikan lagu yang bertema ungkapan sukacita persekutuan dengan tubuh dan darah Kristus, atau instrumentalia dimainkan oleh organis yang bisa membawa suasana DOA umat secara pribadi, sehingga suasana yang tercipta adalah tenang, damai dan tetap khidmat. Hindari lagu yang terkesan ramai yang bisa memancing umat untuk tepuk tangan secara spontan. Kalau perlu setelah Komuni, ada waktu yang cukup ajak umat menyanyikan madah syukur yang tematis.

Ø Nyanyian Maria sebaiknya tidak digunakan dalam perayaan Ekaristi, karena tema nyanyian harus sesuai dengan tema yang sesuai dengan bacaan-bacaan hari itu. Mis. Lagu Maria tidak bisa menggantikan lagu Persembahan. Nyanyian Devosional (Maria) dapat dinyanyikan pada misa khusus dan pada bagian-bagian tertentu

Ø Lagu ANAMNESE (lihat TPE hal. 52) dengan syair: Wafat Kristus kita maklumkan dst. Lagu anamnese ini tanpa AMIN, maka dirigen, koor, dan organis harus mempelopori agar umat tidak sampai menuju kata AMIN, dengan cara memperlambat kata / k i t a r i n d u k a n / (rit…., dengan agak melebut).

Ø Lagu ANAMNESE 5 (lihat TPE hal. 54) Tuhan, Engkau telah wafat dst. Dalam prakteknya justru kata sudah wafat. Hendaknya dirigen dan koor mulai juga melatihkan kata telah wafat. (meski artinya sebenarnya sama, tapi kata Telah, lebih berkesan menghaluskan daripada kata sudah, coba bandingkan dan bacakan dalam hati : Sudah meninggal dengan tenang …., dan Telah meninggal dengan tenang….)



-------------------$$$$$$$$$-------------------
Yulius Kristanto, S.S.
(Koordinator Bidang Musik Liturgi
Paroki Hati Kudus Yesus Surabaya – KATEDRAL SURABAYA)
031- 5949036 ; 031 – 60238107 ; 081-653 1917
( email : yuliussinlui@yahoo.co.id )

Disarikan dari buku berikut (dianjurkan untuk dimiliki para pelayan musik liturgi)
Ø Komisi Liturgi KWI. Sacramentum Caritatis. Jakarta. 2007.
Ø Martasudjito & Kristanto. Panduan Memilih Nyanyian Liturgi. Yogya. Kanisius. 2007.
Ø Suryanugraha, CH.Lakukanlah Ini. Bandung. Sang Kristus. 2007.

Dua Puluh Tahun di Surabaya

Sungguh...., saya tak menduga. Waktu dua puluh tahun seolah tak terasa.
Masih cukup segar ingatan saya, ketika lulus SMA saya mencoba peruntungan dengan mendaftar sebagai CATAR (calon Taruna) di Yogya, berhari-hari tes selalu lolos. Namun seakan sayang ketika sudah tinggal berangkat ke Magelang, ada info pengurangan jatah tiap propinsi. Saya pun tak lolos. 2- 5 hari waktu yang cukup menyita kegalauan, akibat stress gak jadi tentara. Namun keluarga saya minta saya mengikuti UMPTN, nekad saya ambil UNAIR. Lhooooo, malah diterima . Jadilah Juli akhir saya mulai ke Surabaya. Saya gak ingat persisnya, datang ke Surabaya yang jelas pertengahan tahun 1988.
Thanks God, saya pun menyusuri pengalaman baru dengan belajar di Sastra UNAIR Surabaya. Dari sinilah saya mulai mengenal dengan aktivitas yang lebih dalam tentang Teater / Drama, Vokal Group, Paduan Suara Mahasiswa, Gereja, dll.